Kenegaraan : Bab Pendidikan I
Jadi begini, saya barusan baca berita mengenai pendidikan di Indonesia, itu di APBN Kemendikbud yang belum terserap dengan baik, berita cukup lama sebenarnya. Pertama ada disini itu berita pada bulan Juni kemarin lalu ketemu lagi disini yaitu pada bulan Desember.
Berita kedua itu dibulan Desember kemarin, dan belum genap 1 bulan semenjak tulisan ini dibuat. Cukup menyedihkan sebenarnya, mengingat Kemendikbud memiliki anggaran yang sangat besar, seingat saya itu kurang lebih 20% dari total APBN. Menurut sumber yang saya baca tadi, sekitar 30% dari total jatah Kemendikbud belum terserap, dengan nominal sekitar 20T.
Well, ini cukup sedih.
Saya tahu masalah mengenai uang adalah masalah yang sangat, sangat rumit. Tapi mari kita flashback, tugas Kemendikbud yang paling sering di sorot adalah pada UN. Bukannya masih sering terdengar mengenai buruknya kualitas UN yang terjadi tahun lalu. Mulai dari kualitas kertas yang sering dikeluhkan dan kebocoran dan kecurangan sana-sini. Setelah itu boleh kita berangkat ke banyaknya infrastruktur sekolah yang masih kurang. Jangankan dipelosok, disekitar kota saja masih banyak.
Dilain pihak, tidak sedikit gedung - gedung pendidikan yang sangat bagus, tempatku berkuliah juga.
Apa yang salah?
Sepemikiranku hanya pemerataannya saja. Sangat timpang. Tidak jarang kamu menemui sekolah RSBI yang luar biasa megah dan didalam satu kota yang sama kamu temui sekolah yang sedih kondisinya.
Tapi bukankah setiap negatif juga selalu diikuti dengan hal positif?
Tidak elok rasanya jika kita menyalahkan dunia pendidikan kira tanpa melihat betapa banyak lulusan - lulusan di Indonesia yang sukses menyelesaikan sarjana, bahkan melanjutkan di negara maju, bahkan orang itu tergolong dari keluarga tidak mampu, dan bahkan setelah lulus bisa sukses.
Bukankah itu juga merupakan produk dari dunia pendidikan di Indonesia?
Bagus, ini sangat bagus.
Tapi semua itu belum cukup untuk membuat kita menjadi negara maju. Belum bisa untuk meningkatkan tingkat pendidikan rata-rata di Indonesia.
Kembali kemasalah dana APBN tadi, kira - kira apa ya yang membuat rumit?
Birokrasi yang rumitkah? Seharusnya yang mengatur sudah expert dibagian itu.
Padahal uang sudah ada, kenapa masih banyak kekurangan dan tidak bisa diserap dengan baik?
Kenapa malah jor - joran diakhir tahun dengan membuat program - program lain yang terkesan teruntuk menghabiskan jatah APBN tadi?
Belum cukupkah untuk memperbaiki sistem yang ada?
Mensejahterakan guru - guru yang bekerja?
Meningkatkan fasilitas pendidikan?
dan yang terpenting, meratakan tingkat pendidikan di Indonesia?
Put that aside.
Saya tidak pernah bisa berhenti untuk kagum pada relawan - relawan di program Indonesia Mengajar, dan program semacamnya. Mereka adalah orang - orang yang benar - benar luar biasa. Pergi ketempat yang sangat asing bagi mereka, untuk mengajar orang yang belum pernah mereka kenal. Tanpa dibayar. Saya pernah pengalaman mengajar les waktu SMA dan mengajar TK sewaktu KKN kemarin, hasilnya: saya K.O. hanya dengan mengajar selama 2 jam. Energi serasa sudah hilang dari tubuh, sial.
Kenapa saya bercerita mengenai hal itu?
Karena dulu saya sempat bercita - cita untuk ikut, dan sekarang kandas bak pecel kane pada jam 10 pagi.
Cuma sisa bumbunya saja.
Menyerah? Haha tentu tidak.
Saya mahasiswa peternakan, dan ilmu saya didunia itu. Tapi, bukankah produk peternakan itu yang memasok gizi agar tumbuh sehat dan berotak pintar?
Mungkin hanya saran yang bisa saya berikan. Mengapa tidak menyisihkan beberapa jatah APBN itu untuk meningkatkan konsumsi susu yang rendah?
Jika terlalu susah, bisa diatur subsidi hanya untuk murid SD?
Kenapa? Karena yang kita bentuk adalah kebiasaan dan akan sangat efektif jika pada murid SD.
Jika masih susah, atur pada sekolah yang kurang mampu saja?
Kenapa? Karena murid pada sekolah tidak mampu lebih kecil kemungkinan mengkonsumsi susu.
Terus kelebihannya apa?
Sini dengarkan.
1. Susu memiliki nilai kesukaan yang cukup tinggi, membiasakan minum susu merupakan solusi meningkatkan
keinginan anak untuk sekolah selain untuk memenuhi kebutuhan gizinya.
2. Gizi yang baik tentu saja mendukung perkembangan murid, pelajaran lebih mudah diterima, guru bahagia.
3. Merupakan salah satu solusi untuk mensejahterakan peternak dan juga murid.
4. Gaya.
5. dst.
Tapi yang harus diperhatikan juga ada, antara lain:
1. Harus disalurkan dan kerjasama dengan KUD setempat, bukan perusahaan.
2. Pemerataan subsidi. Jika tidak disekolah pelosok tidak ada KUD atau tidak dapat memenuhi produksi susu, subsidi harus bisa disalurkan keprogram lain, bisa ke produk telur dsb.
3. Lactose Intollerant. Cari saja diinternet, dan penyakit semacamnya.
4. Pengawasan sistem.
Kepada pihak terkait semoga tetap semangat dan tulus.
Hore capek nulisnya.
Dyon.
Berita kedua itu dibulan Desember kemarin, dan belum genap 1 bulan semenjak tulisan ini dibuat. Cukup menyedihkan sebenarnya, mengingat Kemendikbud memiliki anggaran yang sangat besar, seingat saya itu kurang lebih 20% dari total APBN. Menurut sumber yang saya baca tadi, sekitar 30% dari total jatah Kemendikbud belum terserap, dengan nominal sekitar 20T.
Well, ini cukup sedih.
Saya tahu masalah mengenai uang adalah masalah yang sangat, sangat rumit. Tapi mari kita flashback, tugas Kemendikbud yang paling sering di sorot adalah pada UN. Bukannya masih sering terdengar mengenai buruknya kualitas UN yang terjadi tahun lalu. Mulai dari kualitas kertas yang sering dikeluhkan dan kebocoran dan kecurangan sana-sini. Setelah itu boleh kita berangkat ke banyaknya infrastruktur sekolah yang masih kurang. Jangankan dipelosok, disekitar kota saja masih banyak.
Dilain pihak, tidak sedikit gedung - gedung pendidikan yang sangat bagus, tempatku berkuliah juga.
Apa yang salah?
Sepemikiranku hanya pemerataannya saja. Sangat timpang. Tidak jarang kamu menemui sekolah RSBI yang luar biasa megah dan didalam satu kota yang sama kamu temui sekolah yang sedih kondisinya.
Tapi bukankah setiap negatif juga selalu diikuti dengan hal positif?
Tidak elok rasanya jika kita menyalahkan dunia pendidikan kira tanpa melihat betapa banyak lulusan - lulusan di Indonesia yang sukses menyelesaikan sarjana, bahkan melanjutkan di negara maju, bahkan orang itu tergolong dari keluarga tidak mampu, dan bahkan setelah lulus bisa sukses.
Bukankah itu juga merupakan produk dari dunia pendidikan di Indonesia?
Bagus, ini sangat bagus.
Tapi semua itu belum cukup untuk membuat kita menjadi negara maju. Belum bisa untuk meningkatkan tingkat pendidikan rata-rata di Indonesia.
Kembali kemasalah dana APBN tadi, kira - kira apa ya yang membuat rumit?
Birokrasi yang rumitkah? Seharusnya yang mengatur sudah expert dibagian itu.
Padahal uang sudah ada, kenapa masih banyak kekurangan dan tidak bisa diserap dengan baik?
Kenapa malah jor - joran diakhir tahun dengan membuat program - program lain yang terkesan teruntuk menghabiskan jatah APBN tadi?
Belum cukupkah untuk memperbaiki sistem yang ada?
Mensejahterakan guru - guru yang bekerja?
Meningkatkan fasilitas pendidikan?
dan yang terpenting, meratakan tingkat pendidikan di Indonesia?
Put that aside.
Saya tidak pernah bisa berhenti untuk kagum pada relawan - relawan di program Indonesia Mengajar, dan program semacamnya. Mereka adalah orang - orang yang benar - benar luar biasa. Pergi ketempat yang sangat asing bagi mereka, untuk mengajar orang yang belum pernah mereka kenal. Tanpa dibayar. Saya pernah pengalaman mengajar les waktu SMA dan mengajar TK sewaktu KKN kemarin, hasilnya: saya K.O. hanya dengan mengajar selama 2 jam. Energi serasa sudah hilang dari tubuh, sial.
Kenapa saya bercerita mengenai hal itu?
Karena dulu saya sempat bercita - cita untuk ikut, dan sekarang kandas bak pecel kane pada jam 10 pagi.
Cuma sisa bumbunya saja.
Menyerah? Haha tentu tidak.
Saya mahasiswa peternakan, dan ilmu saya didunia itu. Tapi, bukankah produk peternakan itu yang memasok gizi agar tumbuh sehat dan berotak pintar?
Mungkin hanya saran yang bisa saya berikan. Mengapa tidak menyisihkan beberapa jatah APBN itu untuk meningkatkan konsumsi susu yang rendah?
Jika terlalu susah, bisa diatur subsidi hanya untuk murid SD?
Kenapa? Karena yang kita bentuk adalah kebiasaan dan akan sangat efektif jika pada murid SD.
Jika masih susah, atur pada sekolah yang kurang mampu saja?
Kenapa? Karena murid pada sekolah tidak mampu lebih kecil kemungkinan mengkonsumsi susu.
Terus kelebihannya apa?
Sini dengarkan.
1. Susu memiliki nilai kesukaan yang cukup tinggi, membiasakan minum susu merupakan solusi meningkatkan
keinginan anak untuk sekolah selain untuk memenuhi kebutuhan gizinya.
2. Gizi yang baik tentu saja mendukung perkembangan murid, pelajaran lebih mudah diterima, guru bahagia.
3. Merupakan salah satu solusi untuk mensejahterakan peternak dan juga murid.
4. Gaya.
5. dst.
Tapi yang harus diperhatikan juga ada, antara lain:
1. Harus disalurkan dan kerjasama dengan KUD setempat, bukan perusahaan.
2. Pemerataan subsidi. Jika tidak disekolah pelosok tidak ada KUD atau tidak dapat memenuhi produksi susu, subsidi harus bisa disalurkan keprogram lain, bisa ke produk telur dsb.
3. Lactose Intollerant. Cari saja diinternet, dan penyakit semacamnya.
4. Pengawasan sistem.
Kepada pihak terkait semoga tetap semangat dan tulus.
Hore capek nulisnya.
Dyon.
Comments
Post a Comment