Sepatu Ari Tidak Pernah Pergi (Cerpen Fiksi untuk IAIN Walisongo Semarang)
Sore itu, pada pukul 17.13 WIB, dipinggir jalan didaerah perbatasan Kota dan Kabupaten Malang, ada seorang anak yang sedang duduk termenung sendiri. Padahal sudah waktunya untuk pulang ke rumah, dan cuaca sudah hujan rintik – rintik di penghujung awal tahun itu. Anak itu bernama Ari. Dia sedang duduk menghadap sungai di pinggir jalan dengan isak tangis yang ia tahan kuat – kuat. Ya, di hari itu Ari kehilangan sebelah sepatu kets hitam kesayangannya. Ia tahu, Ibu dirumah pasti akan marah ketika ia pulang nanti. Selain kehilangan sepatunya, Ari juga melalaikan pesan Ibu bahwa ia harus segera pulang sebelum adzan maghrib berkumandang. Sedangkan pada saat itu, bunyi – bunyi bacaan Al – Qur'an sudah berkumandang dari masjid, ini berarti ketika sesampainya di rumah nanti, adzan maghrib sudah berkumandang dan tidak akan ada cukup waktu untuk membersihkan diri dan ikut menemani Ayah untuk sholat berjamaah di langgar dekat rumah Ustadz Nuril seperti yang ia lakukan setiap hari.
Tiga minggu yang lalu, diawal bulan
ini, Ari mendapatkan sepatu kets hitam baru kesayangannya. Sepatu yang mampu menarik
perhatiannya pada pandangan pertama ketika menemani Ibu untuk belanja di Pasar
Minggu di Bulan Desember tahun lalu. Sepatu yang kemudian membuatnya merengek
ke Ayah dan Ibu. Sepatu yang juga kemudian membuatnya bersemangat belajar dan
mengaji ketika Ayah berkata untuk sabar menunggu gaji Ayah turun diawal bulan
nanti. Kemudian, di awal minggu bulan ini, Ari mengawali hari dengan senyum
lebar yang menyejukkan hati kedua orang tuanya. Hari itu, Ari tidak kembali
tidur setelah sholat shubuh seperti yang biasa dilakukan Ari. Matanya masih
terasa berat, tapi otaknya menolak untuk beristirahat. Hal ini terjadi setelah Ayah
menyuruh Ari agar tidur lebih cepat sehari sebelumnya, karena keesokan paginya Ayah
akan memenuhi janjinya untuk membelikan sepatu kets warna hitam itu.
===
Ari sudah rapi. Kaos merah bergambar
Angry Bird yang disiapkan Ibu begitu
lucu ketika ia kenakan. Ayah sedang memanasi motor bebeknya ketika Ari sedang
duduk dipangkuan Ibu yang sedang menyisir rambut Ari secara lembut. Kakinya
tidak bisa diam, Ibu hanya tersenyum melihat tingkah laku anak kesayangannya
ini. "Sudah rapikah rambut Ari, Bu?" tanya Ari dengan tidak sabar.
Seketika itu Ibu mencium kepala Ari dari belakang dan menjawab, "Sudah ngguanteng anakku Ari sayang, wangi
lagi, coba panggilkan Ayah kemari, nak." Kemudian Ari dengan bersemangat
berdiri dan berlari menuju Ayah yang masih sibuk memanasi mesin sepeda motor.
Masih jelas tergambar diingatan Ari,
hari itu matahari terasa bersinar dengan cerah berangin dengan suasana lembab
pasca hujan semalam. Setelah Ayah selesai berpamitan dengan Ibu, Ari mengikuti
Ayah menuju sepeda motor yang sudah siap mengantarkannya ke Pasar Minggu. Ari
memeluk tubuh Ayah dengan cukup kuat dari belakang. Angin terasa lembut
membelai wajah dan rambut Ari, betapa indah hari itu, pikir Ari. Jarak dari
rumah ke Pasar Minggu memang tidak terlalu jauh, sekitar 15 menit dengan naik
sepeda motor, Ayah dan Ari sudah sampai diarea Pasar Minggu.
Sesampainya di Pasar Minggu, Ari
berkata, "Ayo, Ayah! Nanti sepatunya dibeli orang!"
"Tenang nak, kemarin Ayah sudah
berpesan kepada Pak Mat untuk menyimpan sepatu kets hitam itu khusus untuk Ari.
Sini helmnya nak."
Setelah menerima helm dari Ari, Ayah
menggantungkan tali helmnya dan tali helm Ari kebagian dalam jok sepeda motor.
Kemudian Ayah mengeluarkan uang dari saku bajunya untuk membayar parkir dan
menggandeng Ari menuju kedalam Pasar Minggu yang masih cukup sepi.
"Memang Ayah yakin sudah
dipesankan ke Pak Mat? Nanti Pak Mat lupa? Pak Mat kan sudah tua? Nanti kalau
sepatunya sudah dijual ke orang lain gimana, Yah?" kata Ari ketika
berjalan melewati jalanan basah yang masih becek.
"Hus!
Tidak boleh ngomong begitu, nak. Harus sopan sama orang, yang ngomongnya nggak
dijaga bukan anak Ayah!" jawab Ayah. "Pak Mat itu sudah berjualan
sepatu sejak Ayah masih kelas 2 SMP, kamu jangan meragukan kemampuan mengingat
para pedagang, nak, bisa – bisa ingatan Ayah malah kalah jago."
Setelah
mendengar perkatan Ayah, Ari tersenyum lalu terus berjalan sambil mengayun –
ayunkan tangan yang bergandengan dengan Ayah. Ayah tersenyum. Ketika sampai
ditikungan terakhir, dari kejauhan terlihat Toko Pak Mat masih tutup.
"Wah
masih tutup nih Ri, kepagian sepertinya, beli jajan dulu yuk!"
Ari
memicingkan mata memastikan bahwa Toko Pak Mat memang masih tutup, kemudian
menatap mata Ayah. Sebenarnya Ari hanya ingin segera membawa pulang sepatu kets
hitam itu. Namun bau gorengan yang tercium rupanya sukses menggoda Ari. Ari
kemudian mengangguk setuju dan menunjuk sebuah warung dimana sumber bau
gorengan itu berasal.
Sambil
tersenyum, Ayah berkata, "Wah kita sepikiran nih, Ri. Ayah juga tergoda
bau gorengannya, yuk!"
Sesampainya
di warung, Ayah memesan beberapa gorengan dan secangkir kopi, tidak lupa Ayah
juga memesan segelas teh manis hangat untuk Ari. Sambil menunggu kopi dan
gorengan yang masih terlalu panas, Ayah menatap Ari sambil berbisik,
"Jangan kasih tau Ibu kalau kita jajan ya, Ri. Nanti Ibu bisa marah karena
sudah siapin sarapan dirumah, hehehe.."
Ari mengangguk,
meminum teh hangat, kemudian mengambil gorengan dan mulai memakannya. Kemudian
Ayah melanjutkan, "Baru pertama kali ini kamu menginginkan sesuatu, Ri.
Biasanya kamu nurut saja sama apa yang dibelikan Ayah sama Ibu. Ayah harap
dengan dibelinya sepatu nanti kamu bisa belajar menjaga barang dan tanggung
jawab ya, Ri."
Ari
mengangguk, kemudian mengambil gorengan.
"Waktu
kecil dulu, sepatunya Ayah gantian bekas dari punya Pakde, jadi waktu pertama
sekolah sepatunya masih kebesaran. Setiap lihat Toko Pak Mat, Ayah jadi teringat
masa kecilnya Ayah. Dulu banyak yang Ayah pingin tapi nggak kesampaian, jadinya
waktu kamu bilang ke Ibu pingin dibelikan sepatu itu Ayah langsung mengiyakan.
Toh sepatu kamu yang sekarang sudah mulai rusak kebanyakan dipake sepakbola.
Jadi sepatu kets ini cuma dipake buat sekolah lho, Ri, jangan dibuat main bola
juga."
Ari
mengangguk, meneguk teh hangatnya, kemudian lanjut mengambil gorengan.
"Hahaha...
Doyan, Ri? Ayah dibagi dong jangan dihabisin sendiri, nanti kekenyangan malah
sarapan dirumah nggak dimakan lagi."
Ayah
mengambil gorengan terakhir dan segera menghabiskannya, lalu mulai menikmati
kopi yang mulai hangat. Pagi itu dipasar terasa begitu syahdu, Ayah merasa
senang karena dapat menikmati kopi pagi sambil melihat Ari yang sudah tidak
sabaran tapi terus mengunyah gorengan dimulutnya. Sedang dari sudut pandang
Ari, dia sudah membayangkan bagaimana teman – temannya nanti di sekolah akan
kagum dengan sepatu kets hitam baru milik Ari. Berselang kurang lebih 10 menit,
dari kejauhan mulai terlihat pintu Toko Pak Mat sudah mulai terbuka. Ari
menarik celana Ayah, paham dengan maksud Ari, Ayah segera menghabiskan kopi dan
membayar pesanan.
"Assalamualaikum,
Pak Mat!", sapa Ayah.
"Wa'alaikumsalam,
oh mau ngambil pesenannya Ari ya?", jawab Pak Mat sambil terus
mempersiapkan toko. "Sebentar ya, pesenannya ada didalam, diambilkan
dulu."
Pak Mat
masuk ke bagian dalam toko, tak lama kemudian keluar sambil membawa kotak
sepatu. "Sepatu yang ini, kan?" kata Pak Mat sambil membuka kotak
sepatu, menunjukkan isi kotak sepatu kepada Ari. Mata Ari seketika berbinar dan
mengangguk dengan semangat.
Ayah
tersenyum dan mengelus kepala Ari, kemudian membuka dompet dan membayar
sejumlah uang kepada Pak Mat.
"Matur nuwun nggih, Pak Mat," kata
Ayah.
"Nggih. Terima kasih ya Ari," jawab
Pak Mati sambil tersenyum kepada Ari.
Saat itu
mata Ari hanya tertuju pada kotak sepatu yang ada dipelukannya. Setelah
berpamitan, Ayah dan Ari berjalan menuju parkiran sepeda motor yang sekarang
mulai penuh sesak.
Sesampainya
dirumah, Ari segera memakai sepatu kets hitam itu, sepatu yang sudah sebulan dia
idamkan. Ari kemudian berlari keliling rumah sambil mengenakan sepatu kets
hitam itu. Ibu kewalahan untuk menenangkan Ari, sedangkan Ayah hanya tertawa
melihat tingkah laku anaknya itu. Hari itu, sebuah sepatu kets hitam telah
membuat hari terasa lebih indah dan sempurna. Namun hari ini, sepatu kets hitam
yang pernah membawa kebahagiaan itu sudah pergi. Pergi meninggalkan empunya.
===
Ari duduk
dan menangis, tubuhnya basah oleh rintik gerimis yang mulai berubah menjadi
hujan. Ia berteriak mengerang, lalu diam, lalu mengerang.
Lalu diam.
Kemudian
Ari melihat kearah sungai, ada seekor katak dengan banyak kecebong
disekitarnya. Pikir Ari, katak itu pasti sedang bahagia bermain dengan kecebong
– kecebong diwaktu hujan ini. Lalu ada ular, ular kecil, sepertinya masih anak
ular. Ular itu berenang melawan arus, meliuk – liuk dengan sigap ke arah katak
dan kecebong – kecebong yang sedang bermain. Ari diam, dia tetap melihat ular
yang sedang berenang itu.
Ular kecil
itu berenang terus dan akhirnya cukup dekat dengan katak dan kecebong –
kecebong, kemudian dengan cepat menyambar salah satu kecebong terdekat.
Memakannya. Katak dan kecebong lain serentak kaget dan berhamburan. Katak berenang
dan loncat keluar sungai dan kecebong – kecebong yang lain berenang berhamburan
tanpa arah. Ular melanjutkan pemburuan, beberapa kecebong lagi tertangkap dan
beberapa yang lain sukses bersembunyi kedalam lubang – lubang kecil untuk
berlindung.
Mata Ari
beralih pada sang katak. Katak itu rupanya sedang diam dan melihat kearah
sungai. Diam dalam jangka waktu yang cukup lama, katak kemudian loncat menjauh,
semakin jauh sampai tak terlihat lagi. Hening beberapa saat, terdengar suara
memanggil dari kejauhan. Ari! Ari! Terdengar suara itu semakin dekat. Ari
kembali menangis, mengambil sebelah sepatunya yang masih ada dan berlari kearah
suara yang memanggilnya.
Sumber
suara itu adalah Ayah dan Ibu yang mengkhawatirkan keberadaan Ari yang masih
belum pulang juga. Saat itu, adzan maghrib sudah berkumandang, Ayah dan Ibu
merasa khawatir karena Ari selalu sebelum bacaan Al – Qur'an di langgar
terdengar. Ada sesuatu yang mereka khawatirkan. Ketika Ari terlihat berlari
kearah mereka, Ayah dan Ibu seketika juga berlari lalu memeluk Ari, tanpa ada
kata terucap membawa Ari pulang.
Setelah
membersihkan diri, Ari duduk diruang makan bersama Ayah dan Ibu untuk bersantap
malam. Ari masih tertunduk. Ibu mengkhawatirkan kesehatan Ari, takut – takut
kalau terkena demam. Sedangkan Ayah membesarkan hati Ari dengan mengatakan
bahwa kalau nanti ada rezeki lagi, Ayah akan membelikan Ari sepatu baru yang
lebih bagus dari sepatu kets warna hitam itu. Seusai makan, Ibu membimbing Ari
ke kamar agar menyegerakan tidur, masih khawatir Ari akan jatuh sakit.
Tidak ada
yang tahu, pikiran Ari sebenarnya masih berputar pada ular kecil itu, kecebong
- kecebong itu, dan katak yang pergi itu. Ibu mencium kening Ari, mematikan
lampu dan keluar kamar. Ari masih belum bisa tidur. Ari memikirkan bagaimana
perasaan katak dan kecebong – kecebong itu, juga perasaan ular itu. Bayangan
katak dan kecebong – kecebong muncul di benak Ari. Ari merasakan bagaimana
mereka merasa sedih akan kehilangan teman – temannya. Padahal beberapa saat sebelumnya,
mereka bermain bersama. Keberadaan kecebong – kecebong itu membuat katak dan
kecebong yang lain bahagia. Kecebong – kecebong yang tertangkap itu tidak
pernah ingin untuk pergi, tapi ular berhasil menangkap dan memakan mereka.
Ari
kemudian merasa bahwa katak dan kecebong – kecebong yang selamat itu bernasib
sama dengannya. Kehilangan sesuatu yang benar – benar mereka sayangi. Ari tidak
sedih sendirian hari ini, begitu pikirnya. Kemudian Ari menggeser posisi tubuh
dan pikirannya menjadi kosong. Namun, bayangan ular muncul didalam benaknya.
Sosok yang mengambil kebahagiaan sang katak dan kecebong – kecebong yang
selamat. Kemudian rasa marah terasa disekujur tubuh Ari. Tidak lama berselang,
bayangan ular itu berubah menjadi seekor ular yang lemas kelaparan. Kelaparan
karena seminggu ini tidak dapat memperoleh mangsa. Dimusim hujan ini, sungai
mudah sekali meluap, ikan – ikan dan mangsa ular yang lain seperti katak kecil
dan kecebong terlalu pintar dan mudah untuk kabur. Kesuksesannya dalam
menangkap kecebong yang sedang lengah tadi layaknya penyambung hidup dan mati
bagi sang ular. Malam ini, sang ular dapat tidur dengan bahagia, tidak ada lagi
lapar yang mengganggunya, setidaknya sampai beberapa hari kedepan.
Ari
mengernyitkan dahu, kemudian tertawa. Cukup keras sampai terdengar oleh Ayah
dan Ibu yang lalu masuk kedalam kamar Ari dan memeluk Ari sambil menangis.
Setelah itu, Ari menatap Ayah dan Ibunya seraya berkata, "Ayah, Ibu,
sepatu Ari tidak pernah pergi."
Ayah dan
Ibu saling memandang, kemudian memeluk Ari lagi dan menemani Ari sampai
tertidur. Setelah Ari tertidur pulas, Ayah dan Ibu keluar kamar dan
melaksanakan sholat Isya'. Dalam do'a, mereka panjatkan terimakasih dan rasa
syukur atas segala limpahan dan rezeki dari Allah S.W.T., kemudian memohonkan
kesehatan untuk sekeluarga, terutama untuk Ari, agar Ari selalu dalam
perlindunganNya, terlebih karena Ari termasuk anak yang memiliki kebutuhan
khusus.
Ari adalah
seorang anak yang memerlukan perhatian khusus, seorang anak yang mengidap
autisme. Kejadian malam itu membuat Ayah dan Ibu khawatir, mereka berdoa lebih
khusyuk dan berserah diri kepadaNya. Namun, mereka tidak tahu, bahwa dihari itu
juga, Allah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga pada Ari. Pelajaran
yang tidak semua anak dapatkan dan mampu memahami. Di hari itu, sebagian dari
surat – surat kehidupan telah terbacakan pada Ari, dan hanya untuk Ari, melalui
sepatu kets hitam kesayangannya yang tidak pernah pergi.
Comments
Post a Comment