Buku Sobek, 12 September 2014
Perpisahan memang sukar untuk diterima. Kamu tahu itu. Begitu juga mengenai pertemuan yang selalu diiringi oleh perpisahan, sudah satu paket. Kamu-kan sudah benar-benar mahfum. Bagaimana dengan kepergian pada yang Esa?
"Sudah sepaket dengan kelahiran, tentu saja."
"Lalu, apakah hanya berhenti sampai disitu? Apakah akan ada, semacam pertemuan selanjutnya? Kalau iya, pertemuan seperti apa itu ?"
Pikiran mulai sumpek. Diobok saku celana jeans biru yang sudah beberapa minggu belum dicuci. Mencari recehan. Setelah itu mengambil seribu rupiah untuk membeli sebatang rokok kretek. Tidak lama asap mulai mengebul, kembali larut dalam pemikiran.
"Apakah kita terlahir hanya untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh orang sebelumnya ? Seperti pemikiran Bapak Kawana dari 1Q84. Lantas, bagaimana dengan kekosongan yang kita tinggalkan ? Apakah akan mencapai titik keseimbangan ?"
Kemudian pikiran terlempar pada beberapa jam yang lalu. Pagi hari ketika mencek telepon genggam, dikejutkan oleh beberapa miss call dan pesan teks dari Bapak Besar yang mengabarkan bahwa kakaknya sudah berpulang. Beberapa menit kemudian -setelah sadar sepenuhnya dari tidur- menelepon Bapak Besar, setelah berdiskusi, disepakati bahwa akan bertemu di rumah kakak Bapak Besar di Kediri.
Perjalanan yang melelahkan, bus benar - benar sudah penuh, entah mengapa penumpang terus bertambah. Isi perut terputar tidak biasa, tiba-tiba saja segala hal terasa memuakkan. Setelah turun bus, segera berjalan cepat ke tempat yang lebih sepi, menarik nafas panjang, menormalkan kembali sendi yang kaku dan menenangkan isi perut.
"Perjalanan yang sangat buruk."
Empat jam setelah itu Bapak Besar datang, bersama dengan mobil jenazah yang berangkat dari Surabaya. Empat jam yang sebentar akibat buku dan merundung. Setengah jam setelah kedatangan Bapak Besar datang Capung Kecil.
"Gimana perjalanan?"
"Lancar, walau ragu arah jalan tadi, pertama kali drive solo."
"Baguslah."
Bapak Besar menghampiri, setelah repot mengurus ini itu, mencek kondisi kami satu persatu. Seperti orangtua Weasley pada adegan Battle of Seven Potters -wow, ingatanmu perlu mendapat pujian karena masih ingat jumlahnya dengan pas-, tanpa adegan penggeledahan tentu saja, maksudku disini adalah ekspresi kelegaan yang dirautkan, kamu tahu kan?
Runtutan persiapan pemakaman dilakukan malam itu juga. Setelah itu, bersama pergi membeli makan. Makan malam yang menyenangkan, selalu ada cerita, karena memang terbiasa berpisah.
"Kita masih harus menjemput Mbu, dua jam lagi."
"Ah, mataku mulai terasa berat, maafkan kalau tertidur."
Gelap.
Hari sudah terang, Bapak Besar sudah sibuk mengurus banyak hal. Kemudian bersama Mbu dan Capung Kecil memutuskan untuk mencari sarapan. Benar, sarapan yang enak juga menyenangkan oleh cerita, kontras dengan suasana sendu.
Pergi meninggalkan Mbu dan Capung Kecil, mengambil sebuah buku dan terpikir kembali.
"Bagaimana, ya, rasanya ada yang aneh."
"Apa itu ?"
"Tahukan, jadi tidak perlu sedih karena memang sudah takdirnya untuk berpulang. Apodictic. Begitupula sebaliknya."
"Aristotle, Bravo !"
"Jadi tidak terasa apapun. Apakah sudah benar ya ? Apakah memang harusnya merasa sedih ?"
"Benar dan salah adalah apa yang harus kamu rasakan, bukan untuk sedih dan senang, gimana ?"
"Ah benar, lucu juga. Bukan lucu sebenarnya, tetapi hal tak terduga kerap membuat perutku terasa aneh, mirip ketika sedang merasakan hal lucu. Pertemuan ini, berdasarkan perpisahan toh ?"
Senyum kecil terpilin, tidak didasari apapun. September 12, menulis beberapa catatan, lalu disobek.
Selamat jalan Pakdhe Yad, semoga amalmu diterima, yang buruk diampuni melalui pembelajaran oleh yang lain.
Dyon.
"Apakah kita terlahir hanya untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh orang sebelumnya ? Seperti pemikiran Bapak Kawana dari 1Q84. Lantas, bagaimana dengan kekosongan yang kita tinggalkan ? Apakah akan mencapai titik keseimbangan ?"
Kemudian pikiran terlempar pada beberapa jam yang lalu. Pagi hari ketika mencek telepon genggam, dikejutkan oleh beberapa miss call dan pesan teks dari Bapak Besar yang mengabarkan bahwa kakaknya sudah berpulang. Beberapa menit kemudian -setelah sadar sepenuhnya dari tidur- menelepon Bapak Besar, setelah berdiskusi, disepakati bahwa akan bertemu di rumah kakak Bapak Besar di Kediri.
Perjalanan yang melelahkan, bus benar - benar sudah penuh, entah mengapa penumpang terus bertambah. Isi perut terputar tidak biasa, tiba-tiba saja segala hal terasa memuakkan. Setelah turun bus, segera berjalan cepat ke tempat yang lebih sepi, menarik nafas panjang, menormalkan kembali sendi yang kaku dan menenangkan isi perut.
"Perjalanan yang sangat buruk."
Empat jam setelah itu Bapak Besar datang, bersama dengan mobil jenazah yang berangkat dari Surabaya. Empat jam yang sebentar akibat buku dan merundung. Setengah jam setelah kedatangan Bapak Besar datang Capung Kecil.
"Gimana perjalanan?"
"Lancar, walau ragu arah jalan tadi, pertama kali drive solo."
"Baguslah."
Bapak Besar menghampiri, setelah repot mengurus ini itu, mencek kondisi kami satu persatu. Seperti orangtua Weasley pada adegan Battle of Seven Potters -wow, ingatanmu perlu mendapat pujian karena masih ingat jumlahnya dengan pas-, tanpa adegan penggeledahan tentu saja, maksudku disini adalah ekspresi kelegaan yang dirautkan, kamu tahu kan?
Runtutan persiapan pemakaman dilakukan malam itu juga. Setelah itu, bersama pergi membeli makan. Makan malam yang menyenangkan, selalu ada cerita, karena memang terbiasa berpisah.
"Kita masih harus menjemput Mbu, dua jam lagi."
"Ah, mataku mulai terasa berat, maafkan kalau tertidur."
Gelap.
Hari sudah terang, Bapak Besar sudah sibuk mengurus banyak hal. Kemudian bersama Mbu dan Capung Kecil memutuskan untuk mencari sarapan. Benar, sarapan yang enak juga menyenangkan oleh cerita, kontras dengan suasana sendu.
Pergi meninggalkan Mbu dan Capung Kecil, mengambil sebuah buku dan terpikir kembali.
"Bagaimana, ya, rasanya ada yang aneh."
"Apa itu ?"
"Tahukan, jadi tidak perlu sedih karena memang sudah takdirnya untuk berpulang. Apodictic. Begitupula sebaliknya."
"Aristotle, Bravo !"
"Jadi tidak terasa apapun. Apakah sudah benar ya ? Apakah memang harusnya merasa sedih ?"
"Benar dan salah adalah apa yang harus kamu rasakan, bukan untuk sedih dan senang, gimana ?"
"Ah benar, lucu juga. Bukan lucu sebenarnya, tetapi hal tak terduga kerap membuat perutku terasa aneh, mirip ketika sedang merasakan hal lucu. Pertemuan ini, berdasarkan perpisahan toh ?"
Senyum kecil terpilin, tidak didasari apapun. September 12, menulis beberapa catatan, lalu disobek.
Selamat jalan Pakdhe Yad, semoga amalmu diterima, yang buruk diampuni melalui pembelajaran oleh yang lain.
Dyon.
Comments
Post a Comment