Bulan, Tidakkah Kamu Lelah Hidup Sekeren Itu?
diambil dari google.com, sebenernya mau ambil foto sendiri, malah ketutupan awan. Kambing. |
Bagaimana munculmu aku tak tahu.
Apakah bersamaan dengan bumi?
Atau terbentuk secara bergantian,
teratur satu persatu setelah dentuman besar.
Kalau aku diperbolehkan 'tuk menerka,
sepertinya terbentuk secara satu persatu itu,
ya, yang teratur itu,
sesuaikan dengan gayamu?
Sedari dulu kamu sudah berada disana,
mengawasi pada setiap sisinya.
Menyimpan rahasia dalam - dalam.
Ditempat yang sangat jauh, jauh sekali.
Juga hampa.
Begitu aman dan tak tersentuh.
Tak ada kebisingan dalam dirimu.
Diam, dan menyesuaikan diri sesuai dengan kadarnya.
Menyebabkan air meluap - luap ketika kamu muncul sempurna.
Terselip dalam berbagai puisi cinta para pujangga.
Oh,
tentang ilmu - ilmu juga,
mendasari kalender dan sebagainya.
Kemudian ada masanya,
ketika kamu dikambing hitamkan.
Dijadikan penyebab semacam kegilaan.
Kamu tetap diam, juga tidak pergi.
Entah enggan atau bagaimana.
Hal yang kutahu pasti,
-kala itu- kamu tetap menyampaikan cahaya dari matahari.
Sekian lama,
sebelum kami (masih) meringkuk dalam gelap,
hingga mampu menyinari diri kami sendiri ketika malam
(sinar yang tidak ada apa - apanya tentu saja).
Bahkan, ketika serigala melolong padamu,
aku tidak tahu,
pujiankah itu? rasa terima kasih atau pernyataan cinta?
atau bahkan hinaan, penistaan terpedih ketika kamu nampak sempurna.
Berbicara tentang cinta, gravitasikah cinta-mu itu?
Bisakah kamu menjelaskan kepada kami soal itu?
Ah, kamu cuma diam saja, selalu.
atau mungkin kamu sudah dan selalu,
hanya kami (atau sebenarnya hanya saya) yang terlalu arogan 'tuk mendengarnya.
Seandainya saja kamu bisa menjawab
(harus mengalahkan arogansiku tentu),
seperti apa kamu ingin kami ceritakan?
-Dyon
Comments
Post a Comment