Mengenai Pintar dan Sebagainya.
Beberapa minggu yang lalu, saya sempat berdiskusi secara online bersama rekan salah satu relawan turuntangan Malang. Awalnya dari twit ini:
Sampai kemudian berlanjut ke whatsapp dst dst.
Sebenarnya, twit tersebut merupakan twit yang sangat biasa, betul-betul biasa. Semacam twit penyampaian kata-kata bijak yang dapat menambah nilai jual serta memberikan branding sebagai mahasiswa / anak muda nan bijak dan berjalan diarah yang benar. Tapi toh, kami tetap saling menanggapi.
Enggak tahu ya, gimana dengan rekan saya itu, saya sendiri, sebagai responden, menanggapi twit tersebut karena memiliki tendensi lain. Tujuan saya kala itu ingin mencari rekan diskusi mengenai klise kehidupan orang-orang pintar dalam tanda kutip. Merupakan hal yang saat itu sering mengganggu pikiran saya.
Pertama-tama mari kita uraikan dulu apa yang dimaksud dengan "pintar".
Kalau saya tidak salah ingat, disini kami sepakat bahwa yang dimaksud dengan pintar adalah orang yang memiliki jawaban lebih banyak dari orang lain pada umumnya. Hal ini didasari oleh sifat dari jawaban yang selalu memicu pertanyaan baru lain, tak jarang satu jawaban malah datang sepaket dengan lebih dari satu pertanyaan. Jadi "pintar" disini adalah pada dasar perbandingan pada seberapa banyak pertanyaan yang sudah ditempuh, dibandingkan dengan pelbagai pertanyaan yang sudah ditempuh masyarakat pada umumnya.
Dari sini aku jadi paham maksud dari hidup seperti padi, makin berisi ia makin merunduk. Bisa jadi, merunduknya itu bukan karena sebagai pertanggung jawaban moral karena lebih memiliki wawasan sehingga tidak boleh sombong, melainkan semakin berisi ia, semakin ia tahu bahwa masih banyak hal yang masih belum ia ketahui, tidak ada secuil celah untuk dapat sombong.
Pada perundingan lebih lanjut, diketahui bahwa pembanding ini menjadi salah satu alasan terjadinya personality decay, deteriorasi pemikiran, atau bagaimana kamu lebih suka untuk menyebutnya, dengan syarat apabila posisi pembanding tidak berada pada sudut pandang orang ke-2 atau ke-3. Jika orang pertama yang melakukan pembandingan, maka besar kemungkinan dia akan berhenti untuk mencari jawaban-jawaban lain atau berhenti untuk jadi lebih "pintar" atau itu yang mungkin bisa disebut dengan jemawa. Mengapa bisa begitu? Saya akan coba mengamati dari sudut pandang sosial. Ketika pembanding tidak berada diposisi orang non pertama, maka beberapa kemungkinan yang terjadi adalah bahwa:
Benang merah yang dapat saya tarik dari kedua poin diatas adalah bahwa sebagai mahluk hidup yang berfikir, diakui atau tidak, pada kondisi dan waktu tertentu seseorang membutuhkan sebuah pengakuan agar dapat terus berkembang. Lebih lanjutnya bisa kita diskusikan nanti dengan senang hati :)
Mengenai klise orang-orang pintar.
Baiklah, setelah sepakat dengan definisi pintar diatas, mari kita kembali membahas hidupnya yang saya duga akan sangat klise baginya sendiri. Gimana ya, kamu bayangkan saja gimana rasanya kamu menghadapi pelbagai pertanyaan yang terus menerus berulang padahal pertanyaan itu sudah jauh dilampaui.
Ya, mungkin orang tersebut sudah mendapat pengakuan, namun lingkungan yang tidak bisa mengimbangi malah mungkin bisa membuat buntu, atau bahkan membahayakan orang-orang pintar itu. Sebut saja Galileo. Kurasa, mulai disinilah moral bergerak. Bagaimana kebesaran hati Socrates yang terus menanyakan pelbagai hal yang secara tidak langsung saling membimbing. Bagaimana Plato mendirikan academia. Toh, sebenarnya secara tidak langsung juga memberikan timbal balik positif juga kepada mereka (atau bahkan sebagai metode agar mereka bisa hidup lebih baik), bagaimana mereka membimbing lingkungannya untuk "berkembang" bersama. Berbeda dengan kaum progresif yang bergerak secara individualistik, orang-orang seperti Socrates, Plato dan orang pintar lain yang juga membimbing lingkungannya cenderung lebih mampu bertahan hidup dan mendapat pengakuan secara berlebih.
Dyon.
Enggak tahu ya, gimana dengan rekan saya itu, saya sendiri, sebagai responden, menanggapi twit tersebut karena memiliki tendensi lain. Tujuan saya kala itu ingin mencari rekan diskusi mengenai klise kehidupan orang-orang pintar dalam tanda kutip. Merupakan hal yang saat itu sering mengganggu pikiran saya.
Pertama-tama mari kita uraikan dulu apa yang dimaksud dengan "pintar".
Kalau saya tidak salah ingat, disini kami sepakat bahwa yang dimaksud dengan pintar adalah orang yang memiliki jawaban lebih banyak dari orang lain pada umumnya. Hal ini didasari oleh sifat dari jawaban yang selalu memicu pertanyaan baru lain, tak jarang satu jawaban malah datang sepaket dengan lebih dari satu pertanyaan. Jadi "pintar" disini adalah pada dasar perbandingan pada seberapa banyak pertanyaan yang sudah ditempuh, dibandingkan dengan pelbagai pertanyaan yang sudah ditempuh masyarakat pada umumnya.
Dari sini aku jadi paham maksud dari hidup seperti padi, makin berisi ia makin merunduk. Bisa jadi, merunduknya itu bukan karena sebagai pertanggung jawaban moral karena lebih memiliki wawasan sehingga tidak boleh sombong, melainkan semakin berisi ia, semakin ia tahu bahwa masih banyak hal yang masih belum ia ketahui, tidak ada secuil celah untuk dapat sombong.
Pada perundingan lebih lanjut, diketahui bahwa pembanding ini menjadi salah satu alasan terjadinya personality decay, deteriorasi pemikiran, atau bagaimana kamu lebih suka untuk menyebutnya, dengan syarat apabila posisi pembanding tidak berada pada sudut pandang orang ke-2 atau ke-3. Jika orang pertama yang melakukan pembandingan, maka besar kemungkinan dia akan berhenti untuk mencari jawaban-jawaban lain atau berhenti untuk jadi lebih "pintar" atau itu yang mungkin bisa disebut dengan jemawa. Mengapa bisa begitu? Saya akan coba mengamati dari sudut pandang sosial. Ketika pembanding tidak berada diposisi orang non pertama, maka beberapa kemungkinan yang terjadi adalah bahwa:
1. Kepandaian seseorang itu tidak dianggap oleh lingkungan. Baik disengaja, atau tidak disengaja yang disebabkan alphanya kesadaran ataupun sengaja diabai kan karena dianggap tidak memberikan dampak terhadap lingkungan disekitarnya atau adanya alasan tertentu yang lebih spesifik.
2. Pembanding yang berada pada orang pertama yang disebabkan tidak adanya tanggapan sosial sehingga orang pertama merasa bahwa pemikiran yang dilakukan merupakan tindakan yang sia-sia, atau menyebabkan perasaan paling pintar sehingga merasa tidak diperlukan adanya pencarian jawaban lebih lanjut.
Benang merah yang dapat saya tarik dari kedua poin diatas adalah bahwa sebagai mahluk hidup yang berfikir, diakui atau tidak, pada kondisi dan waktu tertentu seseorang membutuhkan sebuah pengakuan agar dapat terus berkembang. Lebih lanjutnya bisa kita diskusikan nanti dengan senang hati :)
Mengenai klise orang-orang pintar.
Baiklah, setelah sepakat dengan definisi pintar diatas, mari kita kembali membahas hidupnya yang saya duga akan sangat klise baginya sendiri. Gimana ya, kamu bayangkan saja gimana rasanya kamu menghadapi pelbagai pertanyaan yang terus menerus berulang padahal pertanyaan itu sudah jauh dilampaui.
Ya, mungkin orang tersebut sudah mendapat pengakuan, namun lingkungan yang tidak bisa mengimbangi malah mungkin bisa membuat buntu, atau bahkan membahayakan orang-orang pintar itu. Sebut saja Galileo. Kurasa, mulai disinilah moral bergerak. Bagaimana kebesaran hati Socrates yang terus menanyakan pelbagai hal yang secara tidak langsung saling membimbing. Bagaimana Plato mendirikan academia. Toh, sebenarnya secara tidak langsung juga memberikan timbal balik positif juga kepada mereka (atau bahkan sebagai metode agar mereka bisa hidup lebih baik), bagaimana mereka membimbing lingkungannya untuk "berkembang" bersama. Berbeda dengan kaum progresif yang bergerak secara individualistik, orang-orang seperti Socrates, Plato dan orang pintar lain yang juga membimbing lingkungannya cenderung lebih mampu bertahan hidup dan mendapat pengakuan secara berlebih.
Dyon.
Comments
Post a Comment