Perjalanan Panjang
Merupakan hal yang luar biasa jika teringat, bahwa satu saat nanti, dalam hidupmu, bagian dari dirimu akan menjadi satu dengan bumi. Ketika dirimu yang lain pergi menuju tempat-tempat yang selama ini tak pernah bisa kamu jamah. Saat itu, saat dimana batasan pada masing-masing bagian dalam dirimu sudah saling ikhlas 'tuk merelakan.
Pada tiap air yang turun, tetes demi tetes; pada hilir angin yang membisikkan rahasia-rahasia dunia; juga pada tiap benih yang jatuh lalu mengering, kemudian memberanikan diri untuk tumbuh dan merekahkan bunga-bunganya, mengikatkan akar kuat-kuat, berdiri tegak mendengarkan keluh kesah dunia: kamu ada. Ketika gamang dan ragu menjadi satu dengan keyakinan, kasih sayang dan rasa enggan melebur begitu erat, ketika itulah hidupmu menjadi sederhana. Hidupmu seluas semesta. Kamulah semesta.
Bagian dari dirimu kembali pulang, menjadi satu dari sekian objek semesta yang sudah tidak terhitung. Menari-nari dalam harmoni, mengisi alir kehidupan yang begitu indah/ keindahan abstrak. Dibalik semua tirai kehidupan, berenang kian kemari, berdansa sepuasmu. Didalam panggung yang dirindukan oleh pujangga, lapang-lapang yang diimpikan para penggembala.
Pada bagian dirimu yang lain, kamu terbangun diatas hamparan pasir seputih awan. Tempat yang tidak terlalu istimewa, namun menawarkan ketenangan. Tempat akrab yang tak pernah kamu jamah. Tersebutlah kamu, wahai sang pemimpin, penjelajah, peneliti (apapun yang menjawab semua pertanyamu) dengan gairah yang absen. Pergi bersama dirimu yang lain lagi.
Oleh karenanya, kamu memutuskan untuk mulai berjalan. Pada setiap langkah itu, disetiap pijakan yang menekan pasir putih itu, rekaman hidupmu terulang kembali. Kali ini, kamu adalah penontonnya, menikmati setiap drama yang tersaji, menekan semua perasaan kuat-kuat. Perasaan seluas itu dimampatkan, kecil dan terus mengecil. Menjadi muatan yang mengiringi perjalanan. Lalu kamu memutuskan untuk melanjutkan langkahmu, adegan lain terputar, episode baru, beriringan dengan perasaan baru yang silih berganti mengambang secara perlahan. Perasaan itu kamu petik satu-persatu, dimampatkan, sebagai rekan perjalanan.
Maka, pada langkah yang kesekian, perasaan itu sudah terlalu berat untuk kamu pikul sendiri. Peluh terasa jatuh secara perlahan, menjejaki kulit-kulit di wajahmu. Peluh yang sebenarnya tidak ada, tidak pernah ada. Ketika itu kamu menoleh lagi kebelakang, pada setiap jejak diatas pasir yang kamu tinggalkan, seperti tiap perasaan yang membekas dalam jiwamu. Maka menataplah kedepan, dan angkat wajahmu, hal seindah ini tidak akan dapat dilihat oleh wajah yang tetunduk lesu.
Mata kini terbuka kuat-kuat, iris membesar secara perlahan, seperti cat hitam yang jatuh mencumbu minyak. Kemudian, setiap kelenjar saraf-saraf penglihatanmu melepaskan semua muatannya, menghujani kelopak matamu sangat deras. Muatan itu meledak. Dihadapanmu, terdapat jiwa-jiwa yang kamu rindukan dengan sangat. Mereka menunggumu, selama ini, dengan begitu sabar.
Ia berkata, "Perjalanan kita masih harus berlanjut. Kali ini, mari duduk dahulu, aku ingin mendengarkan kisah-kisahmu."
Padang pasir itu, masih besar dan tetap saja tenang.
-o-
Dyon
Comments
Post a Comment