Review: Ronggeng Dukuh Paruk


Ahmad Thohari, dengan keahliannya dalam menggambarkan alam dan pedesaan menjadi sebuah tulisan yang menarik ditunjukkan dalam buku ini. Trilogi ini merupakan sebuah roman dengan nilai kebudayaan yang kental serta penyampaian sejarah yang pahit di Indonesia. Betapa bisa tergambar dengan jelas pada otakku bagaimana budaya peronggengan di Jawa kala itu. Budaya yang cukup menarik karena serupa dengan budaya “idol” yang saat ini sedang marak.

Pada ulasan mengenai buku Bekisar Merah dan Belantik sebelumnya saya sudah menyebutkan bahwa ekspektasi saya cukup besar dalam menyambut Trilogi yang terdiri dari Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala ini. Namun, toh, seiring saya membaca buku ini ekspektasi saya luruh secara teratur dan berubah menjadi kenikmatan membaca cerita yang bersahaja.

Pada buku ini, Yon, kamu akan menemukan bagaimana pergerakan zaman tahun 1960an di Indonesia kala itu –Jawa khususnya, bagaimana adat kebudayaaan yang dianggap bodoh, namun orang-orang didalamnya itu tetap saja dapat membersihkan nuraninya dengan mengagungkan adat itu, berubah secara perlahan menjadi kebodohan modern yang acapkali merusak selain fisik, juga jiwa orang-orang didalamnya. Rasus dan Srintil dalam buku ini bisa jadi merupakan simbol dua jalan yang berbeda dalam pergerakan zaman itu.


Dyon.

Comments

Popular Posts