1 Syawal 1425 H

sungai di deket rumah Eyang, musim kemarau ini



Memori masa lalu yang indah dan manis 'tuk dikenang seringkali menjengkelkanku. Sedikit menunjukkan bahwa kondisi saat ini tidak jauh lebih baik dari masa lalu itu. Meski tidak benar sepenuhnya, yah, masa-masa indah juga memiliki arti sederhana bahwa momen itu memang indah. Kata Bapak, semua ada masanya, kebahagiaan pada tiap masa juga tentu berbeda, masa-masa indah itu bisa jadi indah karena media, baik waktu, tempat dan kondisinya memang sesuai. Begitupun hari ini dan esok.

-o-

Tulisan ini sebenarnya juga berasal dari tulisan mengenai kenangan kolektif yang cukup kurang ajar. Tulisan yang, mungkin kamu juga sudah baca, Yon, tersebar di medsos-medsos itu, tentang anak-anak kelahiran 90'an itu. Berbagai kebahagiaan bersama yang kebetulan kamu juga merasakannya, momen-momen yang, kalau boleh meminjam istilah dari esai Mudik ke Haribaan Mata Air oleh kang Zen RS, bisa dikatakan sebagai "waktu publik", dan setelah itu memaksa kamu untuk mengingat lebih dalam lagi, menarik kenangan-kenangan tentang hal yang lebih bersifat milikmu sendiri. Mari kita.

-o-

Momen idul fitri yang paling (atau mungkin yang paling ingin untuk) diingat kukira adalah pada saat itu, yaitu 11 tahun yang lalu. 1 Syawal 1425 H. Sebelumnya boleh kukatakan bahwa perayaan idul fitri tahun itu juga tidak meriah-meriah amat, sebenarnya, apalagi jika kamu bandingkan pada adegan perayaan Syawal di Bandung pada 1930 pada buku Ramadhan di Priangan karya Haryoto Kunto, jauh. Tapi toh, 1 Syawal 1425 H menorehkan kenangan tersendiri.

Momen magis paling mengesankan, momen istimewa dan betul-betul kurasakan mewah adalah ketika mobil yang disetir Bapak memasuki laman rumah Eyang di Jember. Pada suatu sore yang cukup tenang, disana, Eyang duduk di teras rumah dengan raut wajah yang, bagaimana ya, raut wajah khas Eyang, lah, datang menyambut kami. Mengesankan ketika aku bisa melihat raut wajah yang beranjak cerah, keriput-keriput yang membentuk gelombang-gelombang di pipi ketika tersenyum, dan kelopak mata yang membuka lebih lebar diiringi dengan pupil yang membesar. Istimewa dan mewah ketika semua momen tadi terasa seperti hanya untukku seorang (yang sebenarnya juga dilakukan pada semua sepupuku, tapi setidaknya momen itu, hanya untukku seorang), kemudian diiringi dengan sambutan yang ramah dan dicium habis-habisan. Cukup dengan datang ke rumah Eyang ja aku sudah merasa seperti pahlawan penuntas rindu, Bapak kemudian masuk dan beristirahat, Mama masuk kamar dan menata barang, dan aku disayang Eyang, semua terasa pas dan benar-benar mantap.

Rumah Eyang di Jember menurutku termasuk dalam rumah mudik yang sempurna bagi kami, rumahnya luas dan cukup untuk menampung 4 orang anak beserta cucu-cucunya, memiliki halaman belakang komplit beserta sumur, ada kebun pisang, rambutan dan beberapa tanaman ketela, dan tak jauh dari situ, (hal yang mengesankan setelah momen diatas) terdapat sungai yang jaraknya hanya beberapa puluh meter dari rumah. Sungai yang cukup deras yang hampir setiap tahunnya tidak pernah luput sebagai tempat kami (cucu-cucu Eyang) bermain, minimal duduk-duduk santai dipinggiran sungai. Sungai yang teduh dan menenangkan karena dipinggir-pinggir sungai tumbuh rimbun bambu bertumpuk-tumpuk, dan kamu tahu sendiri betapa teduh suara dedaunan bambu ketika dihembus angin, kombinasi dengan gemericik air merupakan kesempurnaan kondisi zen yang kuduga menjadi alasan kenapa warga sekitar nampak selalu woles.

-o-

1 Syawal 1425 H. Masa-masa yang begitu tenang, hal terberat dalam hidup kala itu mungkin sekadar menahan keinginan untuk membeli CD-ROM untuk PC di rumah dan mencari rental PS sehingga aku dan Yondi dapat menamatkan Kamen Rider Kuuga yang lagi ngetren. Masa-masa ketika aku masih membingungkan apa yang dimaksud pengumpulan suara untuk pemilu. 

1 Syawal 1436 H. Saat ini saat tenang dan cukup menyenangkan kurasa, sungai di Jember tetap oke dan lebih sakral karena di tepi-tepinya terdapat peristirahatan Eyang Putri dan Pakde Toni. Perjalanan Surabaya-Jember dan sebaliknya sudah aku yang mengambil alih, Bapak bisa tertidur selama perjalanan, dan ketika memasuki laman rumah Jember, cukup sepi karena memang kosong. Eyang Kakung di Jakarta dan sudah tidak sebugar dulu. Tapi setidaknya sekarang aku tidak perlu memusingkan CD-ROM atau rental PS, dan lebih dari itu masih banyak hal yang perlu disyukuri. Kini kami memiliki kesenangan berbeda yang berlaku bagi kami sendiri, dan toh aku juga bisa tersenyum remeh melihat anak-anak yang masih harus mencatat khotbah teraweh sepanjang bulan puasa. Afterall, Alhamdulillah, semua masih oke.



Dyon.

nb:
mohon maaf lahir dan batin, dan selalu.

Comments

Popular Posts