Kelahiran dan Manifestasi Ego

Ágætis Byrjun album cover, Sigur Ros.
Maka sekarang sudah memasuki umur dimana jawabannya dapat diberikan secara diplomatis melalui kalimat.
Yah, doakan saja :)

Sebenarnya beberapa hari yang lalu sempat terpikir, bahkan junior di Malang juga secara out of the blue menanyakan pendapat saya mengenai seberapa substansial pernikahan itu. Well, sebenarnya, Yon, kamu bahkan sudah tahu bahwa hidup adalah semacam proses (atau hal yang baru saja terbesit dipikiranmu -hidup layaknya antrian yang pada awalnya kamu tidak tahu antrian apa itu, dan sayang, kamu tidak bisa pergi, lalu kamu melihat sekitar dan mempelajari apa yang sedang kamu antrikan sehingga kamu lebih siap ketika giliranmu tiba, sedang keputusan untuk menikmatinya atau tidak terserah padamu). Layaknya kelahiran, menikah dan mempunyai anak juga merupakan tahapan baru dalam hidup, tantangan baru untuk dilewati dan tahapan pemikiran lebih baru tentu saja.

Terpikir kali ini sebenarnya hanya terpicu oleh pertanyaan yang nggak tau dari mana: Punya anak itu manifes ego orang tua atau bukan?

Bagaimana tidak, disekitar rumahku banyak, banyak sekali keluarga muda dengan anak mereka yang masih kecil yang berlarian ceria kemana-mana, like bera banget ni bocah energi-nya unlimited amat aink coba teliti buat jadi cadangan energi terbarukan apa gimana anyeng. Tahu, kan?

-o-

Yah, mungkin sudah sifat dasar manusia jika ingin meneruskan garis keturunan, memiliki subjek untuk menyalurkan rasa cinta dan melindungi. Memiliki subjek yang dapat menjadi ekspektasi dan harapan akan berbagai hal keinginan, dan mungkin saja, sekadar memenuhi konstruksi sosial dimana kehidupan akan lengkap ketika kamu sudah mapan, berkeluarga dan sukses memiliki keturunan.

Mungkin saja berkeluarga dan memiliki anak, mengutip kata Pak Tarya dalam buku Orang - Orang Proyek karya Ahmad Thohari, adalah sekadar memfungsikan organ tubuh manusia secara utuh. Memfungsikan organ kelamin secara lebih bertanggung jawab dan beradat jika kamu mengikuti adat yang berlaku di Indonesia (dan mungkin pada banyak negara lain). Kemudian yang aku pertanyakan adalah, apakah sang anak mau untuk dilahirkan? Seandainya bisa memilih, apakah sang anak mau?

Kurasa, Yon, hal seperti itu adalah beban yang hanya akan dimengerti oleh mereka yang berkeluarga dan memiliki anak. Kurasa jawaban pertanyaan itu juga akan kembali pada bagaimana orang tua memperlakukan, merawat maupun mengasuh anak mereka. Apakah ada anak yang menyesal karena telah dilahirkan? Kurasa ada dan kamu termasuk orang yang beruntung, maka syukurilah.

Kurasa, anak bisa jadi manifestasi ego kedua orang tua, oleh karena itu sekiranya harus disertai dengan tanggung jawab, jangan sampai sang anak tidak menyesal. Kembali lagi, hidup adalah proses, masalahnya ada pada kesiapan. Aku bingung, wes cekelan yo sik bingung. Orang - orang yang menikah YOLO di umur yang masih terbilang muda memang mengerikan, atau hebat karena sudah siap? Hhh svrem bingung aink.




Dyon
2015.

Comments

Popular Posts