Molarmoral
1.
Pagi yang dikehendaki sudah kian
panas ketika Surdi menginjakkan kaki di stasiun Lempuyangan. Ia berjalan ngawur
diakibatkan oleh jam tidur yang tidak teratur.
“Aku membutuhkan rokok,”
pikirnya.
Surdi berjalan-jalan untuk
mencari warung terdekat, belum juga 10 meter berjalan Ia lekas berputar kembali
ke arah stasiun.
“Sial, aku tidak boleh tertinggal
kereta, stasiun sial, peraturan sial. Semoga bukan kereta sial pula.”
“Layaknya orang tolol saja...”
Surdi memilih untuk segera masuk
dan mencari bangku terdekat dengan jalur kereta, kemudian menemui dirinya hanya
bisa duduk terkantuk setengah sadar.
“Tahan dulu, biar nanti dibalas
di kereta,” gumam Surdi.
Tidak lama kereta tiba. Surdi
membawa sebuah tas ransel, kopor tarik dan selempang yang ketiganya gemuk-gemuk
dan berat sesuai proporsinya masing-masing. Tas ransel berisi pakaian bersih,
beberapa buku pengetahuan alam, buku catatan besar-besar dan sebuah laptop. Tas
kopor tarik untuk baju-baju kotor, berbagai macam buku yang telah habis terbaca.
Tas selempang berisi dompet dan gawai yang terasa mengganjal jika dimasukkan
saku celana, beberapa roman juga dijejalkannya ke dalam tas selempang itu.
Surdi bangkit dari duduk setengah
sadarnya, mengangkat tas ransel, kopor tarik dan selempang yang ketiganya
gemuk-gemuk dan berat sesuai proporsinya masing-masing. Menarik nafas cukup
panjang setiap 3 langkah dan memaksa ototnya untuk meregang-regang kembali.
Darah terasa mengalir lancar dalam tubuh Surdi, secara mengejutkan
menghilangkan sedikit rasa kantuk.
“Heh, tas-tas ini cukup
pengertian juga,” batin Surdi.
Bangku-bangku Surdi telah
dikuasai oleh lelaki setengah tua yang berangkat dari stasiun Purwokerto,
dengan sedikit senyuman lelaki tersebut mempersilakan Surdi untuk mengambil
haknya dan Ia pergi entah kemana. Surdi mengangkat tas ransel dan tas kopornya
yang besar-besar dan gemuk-gemuk sesuai proporsinya tersebut pada bagasi atas
tempat duduk dan meletakkan tas selempangnya yang tidak kalah gemuk disamping
dinding jendela, terhimpit oleh dinding dan badan Surdi sendiri.
Surdi duduk, membaca beberapa
pesan singkat dari kekasihnya melalui gawai. Pesan tersebut melenyapkan rasa
kantuk dan menyisakan risau, pusing dan kepala yang berat. Menghasilkan tidur
yang sukar dan pembalasan yang tidak lekas terjadi. Jadilah Surdi menjadi orang
hidup yang tidak beruntung.
“Ah, betapa tas ransel, kopor
tarik dan selempang yang gemuk-gemuk dan berat itu lebih mengerti aku. Padahal
belum juga Ia ku peristri..."
2.
Surdi tahu perjalanannya akan
menjadi perjalanan yang sangat lama, menyediakan banyak waktu untuk dibuang selagi
kereta memangkas berpetak-petak sawah dengan laju. Surdi membuka tas selempang,
mengeluarkan sebuah roman dan gawai. Tas selempang kini lebih kurus dan duduk
terkulai tak berdaya. Serangkaian gelombang lagu mengalir, menembus gendang telinga,
dan Surdi membuka-buka roman yang belum pernah Ia baca itu. Tidak habis kata
pengantar Surdi terlelap sudah.
Beberapa jam berlalu hingga Surdi
terbangun, menggaruk-garuk telinga dan tidak lama menenggelamkan diri pada
roman yang sudah lupa apa yang sempat Ia bacanya tadi.
“Ah, betapa sastra merupakan
penanda sejarah yang baik juga. Bak masa renaisans, masa penjajahan dan
perseteruan ideologi mampu melahirkan begitu banyak roman dengan jurusan yang
berupa-rupa pula.”
“Bagaimana dengan sastra di masa
depan, ya? Adakah puisi dan prosa mengenai perang dan desa habis menjadi
cerita-cerita tentang perkotaan?"
3.
Kereta Surdi merupakan kereta
yang tidak cukup baik sebenarnya, namun menjadi berpuluh kali lebih baik ketika
Surdi teringat pada suatu waktu Ia bersama-sama ratusan orang lain terpaksa
menjadi pindang pada kereta yang penuh sesak beberapa tahun yang lalu, dan ratusan
kali menjadi lebih baik ketika membayangkan kondisi kereta yang sesak dengan
tambahan bau keringat dan terasi yang diceritakanpada roman yang Ia baca.
Halaman demi halaman, zaman demi
zaman ditekuni Surdi dengan tanpa hambatan, sesekali terhenti pada cerita
penjajahan Jepang untuk duduk diam terpekur, menyadari bahwa beberapa lagu yang
terlantun di telinganya, toh berasal dari Jepang jua.
“Heh, bangsa kita pemaaf juga. Eh?”
“Kalah jadi abu, menang jadi
arang, kan? Biar-biarlah, setiap orang melakukan kesalahan, yang wajib adalah
belajar.”
“Belajar sembilan tahun sudah, kini
aku tahu bahwa abu bisa melenyapkan abu.”
“Bhahahak, pekok.”
“Yah, elektronik dan otomotif
banyak dari Jepang pula, gawai ini pun, lagu-lagu ini pun.”
“Wanita berupa-rupa juga.”
“Ahahahaha...”
4.
Suatu malam nenek Laundry, begitu
orang menyebutnya, terkunci di teras rumah oleh anak-cucunya. Ia duduk tenang
saja di kursi tempat Ia biasa duduk. Nenek Laundry biasa duduk di pagi, siang,
sore dan malam hari. Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan nenek Laundry,
mungkin Ia memikirkan kericuhan pilpres 2014, mungkin bahkan tidak memikirkan
apapun. Maklum, nenek Laundry sudah tua, sedikit pikun dan tuli pula.
Terkunci di teras rumahnya
mungkin bukan hal yang mengerikan bagi nenek Laundry, toh dikunci atau tidak,
Ia akan tetap duduk di kursi teras itu dan baru akan masuk ketika malam sudah
larut betul, atau ketika anak-cucunya meminta Ia untuk lekas masuk rumah.
Malam itu Surdi lewat depan rumah
nenek Laundry, sepulang makan dan kenyang sungguh-sungguh. Merupakan malam yang
biasa saja bagi nenek Laundry, namun menjadi begitu sedih bagi Surdi.
“Bagaimana mungkin mengunci,
meninggalkan nenek Laundry sendiri? Betapa orang-orang kini serupa
anjing-anjing!”
Sedih hati Surdi melihat nenek
Laundry yang terkunci dan duduk sendiri. Ia menistakan orang-orang yang
meninggalkan nenek Laundry, bertekad untuk lekas kembali ke kamar kos, berganti
baju, meletakkan barang-barang, kemudian menemani nenek Laundry yang terkunci
dan duduk sendiri.
Maka pulanglah Surdi ke kamar kos,
berganti pakaian, meletakkan barang-barang kemudian bersapa teman sebelah kamar,
bercengkrama sebentar, menghisap rokok barang satu-dua, bercengkerama lagi sebentar
hingga sebentar menjadi lama, kemudian memutuskan untuk pergi sebentar ke
surau.
“Ah, anjing, sialan!”
Pada perjalaan menuju surau Surdi
melihat nenek Laundry yang terkunci dan duduk tidak sendiri. Seorang lelaki 30
tahunan duduk bersila di lantai teras nenek Laundry, menemani nenek Laundry.
Lelaki terseut telah berhasil memisahkan diri dari anjing-anjing dan Surdi
telah berhasil menistakan dirinya sendiri menjadi anjing-anjing yang
dikutukinya pula.
”Betapa aku anjing tidak tahu
diuntung. Tiada beda aku dengan si cebol yang mengais-ngais sampah di malam
hari.”
Maka pergilah Surdi ke surau
barang sebentar, kembali pulang untuk mengisi tas ransel, kopor tarik dan
selempang hingga gemuk-gemuk dan berat sesuai dengan proporsinya. Semalaman
Surdi mengasih-ngasihi dirinya sendiri.
Dyon
2016.
*sumber gambar: cdn.trendhunterstatic.com
Comments
Post a Comment