Ara, Setrika dan Jun Seba
source: unsplash.com |
1.
Ini adalah akhir pekan yang tenang dan hangat, tipikal sore di akhir bulan April yang menyenangkan. Waktu yang tepat untuk menyetrika, pikir Ara. Menyetrika di akhir pekan itu, bagi Ara, juga merupakan saat yang tepat untuk mengingat-ingat kembali apa-apa pada yang seminggu lalu. Kamu tahu, siang-malam tak hentinya berganti, dan kemudian kita menjadi tua dan mudah sekali lupa, sedangkan senja, menyediakan ruang kosong bagi kita untuk meluapkan gelembung-gelembung ingatan.
2.
Kemudian pagi adalah angin segar, bersamanya adalah helaan napas yang dingin, beserta akumulasi keinginan untuk kembali saling mencintai. Bukankah indah?
Namun kamu tetap saja, memuja siang-malam, mengerjakan pelbagai hal dan menulis prosa, sedang Ara terdiam sambil menyetrika, saat itu, pada sebuah senja.
3.
"Aku pernah mencintai seseorang yang telah tiada," kata Ara.
"Seseorang yang tidak pernah aku kenal, dan nyatanya Ia telah pergi jauh, 6 tahun sebelum aku benar-benar mengenalnya".
Bagaimana bisa?
"Ia menghampiriku. pada suatu senja, mewujud kata-kata."
Maka Ia abadi.
"Maka cintaku abadi..."
4.
Setrika dan senja adalah dua variabel zen, bagi Ara. Sekejap itu Jun Seba tiba, dalam kata-kata, mekar menjadi cinta dan sekejap itu jua, usai mekarnya.
"Aku pernah memikirkan sebuah bangunan masjid," kata Ara sambil menyetrika.
"Terutama usai bulan puasa, terutama ketika Ia kehilangan sebagian besar cintanya. Maka biar aku menjadi masjid itu saja, yang tegar, oh, betapa tegar!"
"Menjadi jiwa yang membara adalah sebuah pilihan, begitu juga ketika tidak. Maka biar kupetik, dan kugugurkan, biar terurai, biar menjadi sari pati kehidupan dalam tenang..."
Sore itu, angin hangat masuk melalui celah-celah yang ada: jendela, rongga pintu, dan pada sela-sela yang tidak pernah kamu tahu. Angin itu, tidak pernah gagal untuk menghangatkanmu, tanpa peduli betapa jendela-jendela telah kau tutup rapat-rapat. Sore itu, Ara telah selesai menyetrika.
Dyon.
2016.
Comments
Post a Comment